1.
a) Guided
Re-invention atau “menemukan kembali secara terbimbing” Prinsip ini menekankan
“penemuan kembali” secara terbimbing.. Melalui topik-topik tertentu yang
disajikan, siswa diberi kesempatan samauntuk membangundan menemukan kembali
ide-ide dan konsep-konsep matematika. Setiap siswa diberi kesempatan samauntuk
merasakan situasi dan mengalamima salah kontekstualyang mmiliki berbagai
kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat diberikan bimbingan yang diperlukan.
Jadi pembelajaran tidak diawali dari“ sifat” atau “definisi”atau “teorema” atau
“aturan” dan diikuti dengan “contoh=contoh”serta “penerapannya”,tetapi justru
dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan memba
yangkannya, dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat menemukan
kembali sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan kesesuiannya
dengan paham konstruktivismeyang meyakini bahwa pengetahuan tidak dapat
ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitasyang dilakukan
sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut. b) Progressive
mathematization atau matematisasi progresif.Bagian -2 dari prinsip pertama ini
menekankan “matematisasi” atau “pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai
“upaya untuk mengarahkan kepadapemikiran matematika”. Dikatakan prograsif
karena terdapat dua langkah matematisasi itu, yaitu matematisasi (1) horisontal
dan (2) vertikal.yang berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan akan
berakhir pada matematika yang formal.
2.
Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Masalah kon tektual dipilih denganmempertimbangkan (1)
aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasidalam pembelajaran dan (2)
kecocokan dengan proses re-inventionyang berarti bahwa aturan/cara,atau konsep
atau sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan
oleh guru
tetapisiswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri
dengan berpangkal dari masalah kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan
“learning trajectory”/ lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang
ditetapkan.Tidak mustahil lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda meskipun
akan mencapai tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru tetapi akan berpusat pada siswa bahkan dapat juga disebut
berpusat pada masalah kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga
untuk memantapkan pemahaman sesuatu yang telah didapatnya..
3.
Self developed model atau membangun sendiri model
Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model.
Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika foral
serta adanya kebebasan pada anakmaka tidak lahmu stahil siswa akan
mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih seder-hana dan masih mirip
dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya masih
dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya mungkin melalui generalisasi
ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang mengarahkan ke matematika
formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal tersebut sesuai dengan
matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa
dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.
Sumber :
Soedjadi, R.
2007. Dasar –Dasar Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia . Jurnal
Pendidikan Matematika, VOL. 1 NO.2. Surabaya. File:///C:/Users/Admin/Downloads/Filsafat/807-1697-1-PB.Pdf (Diakses
Pada 24 Desember 2016 Pukul 19.13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar