Pertanyaan
dan Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel
Kant dilahirkan
di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724,
dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan
menunggang kuda. Neneknya merupakan imigran dari Skotlandia tetapi pada
penelitian yang diadakan kemudian orang menyangsikan betulkah neneknya berasal
dari Skotlandia.
Semula namanya ditulis dengan Cant, tetapi karena adanya perubahan ejaan yang
menentukan bahwa huruf C juga dibaca seperti S, maka untuk tidak membuat
meragukan orang yang mengenalnya, nama itu ditulis seperti yang dikenal orang
sekarang. Perubahan itu telah terjadi pada zaman neneknya. Perhatian bagi
hal-hal kecil semacam itu antara lain yang mempengaruhi sikap hidup Kant yang
serba teliti lebih-lebih dalam hal pembagian waktu, sampai ia terkenal sebagai
seorang profesor yang bekerja menurut waktu yang telah ditentukannya.
Filsafat
yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel
kant. Kritisisme adalah filsafat yang
memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan
batas-batas rasio (Khuza’i, 2007:25). Perkembangan ilmu Immanuel Kant
mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam
aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk
mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan
kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu
pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat
ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan
corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara
mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang
teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Apakah
yang dapat kita ketahui?
2.
Apakah
yang boleh kita lakukan?
3.
Sampai
di manakah pengharapan kita?
4.
Apakah
manusia itu?
Adapun jawaban dari keempat
pertanyaan tersebut di atas adalah:
1. Apa-apa yang harus diketahui
manusia haanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain dari pada itu
merupakan ilusi, hanyalah ide.
2. Semua yang harus dilakukan
manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum, misalnya dilarang
mencuri.
3. Yang bisa diharapkan manusia
ditentukan oleh akal budinya.
4. Manusia merupakan pelaku (aktor)
dari ketiga pertanyaan sebelumnya.
Selain
itu juga ada tentang pemikiran immanuel kant mengenai Metafisika, Etika, Agama
dan Tuhan, dan juga Manusia.
1.
Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan
ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah
ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara
satu dan lainnya.
Metafisika
tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala
sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman
dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada
pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio
(vernunft).
Bagi Kant,
pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan
mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan
moral pada rasio praktis.
2. Etika diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya
dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis,
dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu
dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif.
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat
menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif
kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini
diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat
tidak akan jalan.
3.
Pemikiran
Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang
epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari
penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti
“onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan
“objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi
tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yg
dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel
Kant berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal
dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan
Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada
terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini,
Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan
empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant,
Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal
totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak
positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin)
moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan
Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada
tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia
saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant,
tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Kant
menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu
dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan
kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan,
keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
4.
Kant
mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata
alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala
tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang
lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan.
Bagi Kant,
manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal,
jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian
membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa
membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment) manusia menempatkan
realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai
(finalitas) serta memahami semuanya secara in heren sebagai
yang memiliki tendensi kepada kesatuan.
Daftar
Pustaka :
Fahmi. 2016. Filsafat
Immanuel Kant. http://filsafatpendidikan2016.blogspot.co.id/2016/09/filsafat-immanuel-kant.html
(di akses pada 9 Oktober 2016 pukul 7.50)
https://www.academia.edu/5020095/Pembahasan_makalah_Filsafat_Immanuel_Kant
(di akses pada 9 Oktober 2016 pukul
7.40)
Nova Utama. Pemikiran
Immanuel Kant. https://novautama.wordpress.com/2012/10/24/pemikiran-immanuel-kant/ (di akses pada 8 Oktober 2016 pukul 11.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar