Jumat, 21 Oktober 2016

Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat



Pendekatan-Pendekatan dalam Filsafat

Ketika mendengar istilah filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “moster” yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Filsafat dari sini melahirkan mitos-mitos dalam seputarnya, seperti kita jangan terlalu serius dalam belajar filsafat. Bila orang tidak kuat, jangan-jangan otak kita akan menjadi gila. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehar-hari dan kita melaluinya. Mitos tentang filsafat tersebut tersebar di orang awam. Tetapi, sebagaian agamawan pun, mengatakan agamawan dikarenakan orang agamawan dalam pemikirannya cenderung menerima kebenaran secara multak. Tetapi itu akan berlainan jika kita melihat dari pemikiran kaum filosof ia menerima kebenaran yang bersifat tidak mutlak, dikarenakan pola pemikirannya yang bersifat induktif. Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan, dikarenakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari esensinya.
Bagi seorang pemula, memasuki dunia filsafat bebarti memasuki ranah dunia yang begitu mempesona sekaligus menantang dengan puluhan filosof dengan pemikirannya masing-masing. Untuk menyelami maka diperlukan bagaiman cara mendekati filsafat dan bagaimana cara masuk untuk mempelajarinya.
Pertama adalah pendekatan secara historis dengan berbagai variasinya. Metode ini dipandang baik bagi para pemula, dalam pendekatan ini pemikiran para filusuf terpenting dan latar belakang mereka dipelajarai secara kronologis. Secara sederhana dalam sejarahnya filsafat terbagi menjadi tiga zaman nyaitu Yunani Kuno, pertengahan dan modern. Kedua adalah pendekatan metodologis cara ini memahami filsafat adalah kita berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai macam metode filsafat ditimbang-timbang dan metode tersebut dipandang terbaik untuk melakukan filsafat. Ketiga adalah pendekatan analisis dalam pendekatan ini dalam mempelajari filsafat kita menjelaskan unsusr-unsur dari filsafat dan dalam pendekatan ini unsur filsafat dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Keempat adalah pendekatan eksistensial dalam pendekatan ini memperkenalkan jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Pendekatan ini tema-tema pokok filsafat dialami dengan harapan memperoleh gamabaran filasafat secara keseluruhan.

Menurut Donny Gahral Adian (2002), terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:

A. Pendekatan Definisi.

B. Pendekatan Sistimatika.

C. Pendekatan Tokoh

D. Pendekatan Sejarah

A.    Pendekatan Definisi. Dalam pendekatan ini filsafat dicoba difahami melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para akhli, dan dalam hubungan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata filsafat itu sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi filsafat.

B.     Pendekatan Sistimatika. Objek material Filsafat adalah serwa yang ada dengan berbagai variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa ditelaah dari berbagai sudut sesuai dengan fokus keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada objek formal melahirkan berbagai bidang kajian dalam filsafat yang menggambarkan sistimatika,

C.     Pendekatan Tokoh. Pada umumnya para filsuf jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh karena itu pendekatan tokoh juga dapat dikelompokan sebagai pendekatan Aliran, meskipun tidak semua Filsuf memiliki aliran tersendiri.

D.      Pendekatan Sejarah. Pendekatan ini berusaha memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang dapat memasukinya melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu tersebut harus dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan pendekatan Historis perlu didasari dengan pemahaman awal tentang filsafat yang dapat diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.

Daftar Pustaka :
Anonim. 2014. Pendekatan dalam Mempelajari Filsafat. http://nsimeon.blogspot.co.id/2014/01/pendekatan-dalam-mempelajari-filsafat.html (diakses pada 15 Oktober 2016 pukul 8 Oktober 2016 pukul 11.00 WIB)
Fadly Walukow. 2012. Filsafat. http://fadhlyllah.blogspot.co.id/2012/12/filsafat.html (di akses pada 15 Oktober 2016 pukul 10.17 WIB)
Halim Sani. 2007. Apa Filsafat itu ; (Sebuah Pengantar ke Alam Filsafat). https://halimsani.wordpress.com/2007/09/18/apakah-filsafat-itu-sebuah-pengantar-kealam-filsafat/ (diakses pada 15 Oktober 2016 pukul 10.21 WIB)

Hubungan Filsafat dengan Pendidikan



Hubungan Filsafat dengan Pendidikan 

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah diangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan. Dan Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan lain-lainnya.
Filsafat adalah induk semua bidang studi dan disiplin ilmu pengetahuan, dengan sudut pandang yang bersifat komprehensif berupa ‘hakikat’. Artinya, filsafat memandang setiap objek dari segi hakikatnya. Sedangkan pendidikan adalah suatu bidang studi sekaligus disiplin ilmu pengetahuan yang persoalan khasnya adalah meenumbuhkembangkan potensi manusia menjadi semakin dewasa dan matang (maturity human potents)’. Jadi, filsafat pendidikan mempunyai persoalan sentral berupa hakikat pematangan potensi manusia. Tradisi filsafat adalah selalu berpikir dialektis dari tingkat metafisis, teoritis, sampai pada tingkat praktis. Tingkat metafisis disebut aspek ontologi, tingkat teoritis disebut epistemologi, dan tingkat praktis disebut etika.
Jika diterapkan pada kegiatan pendidikan, aspek ontologi adalah proses pendidikan dengan penekanan pada pendirian ‘filsafat hidup’ (philosophy of life), suatu pandangan hidup yang dijiwai nilai kejujuran. Dari filsafat hidup tersebut, diharapkan adanya pertumbuhan dan perkembangan kematangan spiritual, berupa wawasan luas yang menyeluruh dan padu meliputi asal-mula, eksistensi, dan tujuan hidup. Sedangkan aspek epistimologi pendidikan menekankan sistem kegiatan pendidikan pada ‘ pembentukan sikap ilmiah’ (scientific attitude), suatu sikap yang dijiwai nilai kebenaran. Dari sikap ilmiah itu, diharapkam adanya pertumbuhan dan perkembangan  kematangan intelektual, berupa kreativitas dan keterampilan hidup (creativities and skill of life). Sedangkan aspek etika pendidikan menekankan pada sistem kegiatan pendidikan pada ‘pengembangan perilaku bertanggung jawab (responsible conduct), suatu yang dijiwai oleh nilai keadilan. Dengan perilaku bertanggung jawab ini, diharapkan kematangan emosional bisa tumbuh dan berkembang, yaitu kemampuan pengendalian diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas.
Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Daftar Pustaka :
Denovo Idea. 2009. Hubungan Filsafat dan Pendidikan. https://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/ (di akses pada 8 Oktober 2016 pukul 11.00 WIB)
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


Sabtu, 08 Oktober 2016

Pertanyaan dan Pemikiran Immanuel Kant



Pertanyaan dan Pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant adalah seseorang yang sederhana. Selama hidupnya Kant menetap di Prusia dan mengalami masa peperangan tujuh tahun sewaktu Rusia menaklukkan Prusia Timur. Ia juga hidup dalam masa revolusi Perancis dan masa kejayaan Napoleon. Selama hidupnya jarang sekali ia bepergian lebih dari 70 km dari tempat tinggalnya.
Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan menunggang kuda. Neneknya merupakan imigran dari Skotlandia tetapi pada penelitian yang diadakan kemudian orang menyangsikan betulkah neneknya berasal dari Skotlandia. Semula namanya ditulis dengan Cant, tetapi karena adanya perubahan ejaan yang menentukan bahwa huruf C juga dibaca seperti S, maka untuk tidak membuat meragukan orang yang mengenalnya, nama itu ditulis seperti yang dikenal orang sekarang. Perubahan itu telah terjadi pada zaman neneknya. Perhatian bagi hal-hal kecil semacam itu antara lain yang mempengaruhi sikap hidup Kant yang serba teliti lebih-lebih dalam hal pembagian waktu, sampai ia terkenal sebagai seorang profesor yang bekerja menurut waktu yang telah ditentukannya.
Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (Khuza’i, 2007:25). Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dapat kita ketahui?
2.      Apakah yang boleh kita lakukan?
3.      Sampai di manakah pengharapan kita?
4.      Apakah manusia itu?

Adapun jawaban dari keempat pertanyaan tersebut di atas adalah:
1. Apa-apa yang harus diketahui manusia haanyalah yang dipersepsi dengan panca indera. Lain dari pada itu merupakan ilusi, hanyalah ide.
2. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum, misalnya dilarang mencuri.
3. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya.
4. Manusia merupakan pelaku (aktor) dari ketiga pertanyaan sebelumnya.

Selain itu juga ada tentang pemikiran immanuel kant mengenai Metafisika, Etika, Agama dan Tuhan, dan juga Manusia.
1.       Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
2.      Etika diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif.

Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.

3.       Pemikiran Immanuel Kant Tentang Agama dan Tuhan. Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang Tuhan pun tak luput dari penelaahannya. Dalam bidang keagamaan atau Teologi, Kant menolak bukti-bukti “onto-teologis” adanya Tuhan. Artinya, menurutnya, Tuhan itu, statusnya bukan “objek” inderawi, melainkan a priori yang terletak pada lapisan ketiga (budi tertinggi) dan berupa “postulat” (Asumsi yg menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar).
Immanuel Kant  berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Tuhan harus berasal dari penalaran; oleh karena itu, ia menyerang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan, dengan menyangkali keabsahannya. Kant berpendapat bahwa tidak dapat ada terpisah pengalaman yang dapat dibuktikan melalui pengujian. Dalam hal ini, Kant mengkombinasikan rasionalisme (kebertumpuan pada penalaran manusia) dan empirisme (pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah).
Bagi Kant, Tuhan bukanlah soal teoretis, melainkan soal praktis, soal moral, soal totalitas pengalaman, dan arti atau makna hidup terdalam (ini dampak positifnya). Dampak negatifnya adalah bahwa sebagai “postulat’ (penjamin) moralitas, Tuhan adalah konsekuensi moralitas, maka moralitas merupakan dasar keberadaan Tuhan. Karena itu, muncul tendensi pada Kant untuk meletakkan agama hanya pada tataran moralitas semata atau perkara horizontal saja (hubungan antar manusia saja atau soal perilaku di dunia ini saja). Konsekuensinya, agamanya Kant, tidak memerlukan credo (kepercayaan).
Kant menyatakan bahwa memang Tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh hukum moral. Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan tiga hal utama, yaitu: kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
4.    Kant mengatakan bahwa hanya manusialah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan.
Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment) manusia menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara in heren sebagai yang memiliki tendensi kepada kesatuan.
Daftar Pustaka :
Fahmi. 2016. Filsafat Immanuel Kant. http://filsafatpendidikan2016.blogspot.co.id/2016/09/filsafat-immanuel-kant.html (di akses pada 9 Oktober 2016 pukul 7.50)
Nova Utama. Pemikiran Immanuel Kant. https://novautama.wordpress.com/2012/10/24/pemikiran-immanuel-kant/  (di akses pada 8 Oktober 2016 pukul 11.00)